Powered By Blogger

Selasa, 10 Mei 2011

RUMAH LONTIOK, RUMAH ADAT KAMPAR

Rumah Lontiok, Rumah Adat Kampar
Rumah Lontiok (uma lontiok) adalah salah
satu Rumah Adat Daerah Riau, Indonesia
yang terdapat di Kabupaten Kampar. Rumah
Lontiok yang dapat juga disebut Rumah
Lancang, dan Rumah Pencalang karena
rumah ini bentuk atapnya melengkung
keatas, agak runcing. Sedangkan dindingnya
miringkeluar dengan hiasan kaki dinding
mirip perahu atau lancang. Hal itu
melambangkan penghormatan kepada
Tuhan dan-sesama. Rumah Adat Lontiok
biasanya mempunyai anak tangga rumah
hitungan ganjil. Bentuk dinding Rumah yang
miringkeluar seperti miringnya dinding
perahu layar mereka, dan jika dilihat dari
jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-
Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat
penduduk. Sedangkan nama Lontiok dipakai
karena bentuk perabung (bubungan)
atapnya melentik ke atas.
Rumah Lontiok merupakan Rumah
panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih
untukmenghindari bahaya serangan
binatang buas dan terjangan banjir. Di
samping itu, ada kebiasaan masyarakat
untuk menggunakan kolong rumah sebagai
kandang ternak, wadah penyimpanan
perahu, tempat bertukang, tempat anak-
anak bermain, dan gudang kayu, sebagai
persiapan menyambut bulan puasa. Selain
itu, pembangunan Rumah berbentuk
panggung sehingga untuk memasukinya
harus menggunakan tangga yang
mempunyai anak tangga berjumlah ganjil,
lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan
masyarakat.
Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya
miring keluar, berbeda dengan dinding
dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan
dinding luar depan melengkung ke atas,
dan, terkadang, disambung dengan ukiran
pada sudut-sudut dinding, maka terlihat
seperti bentuk perahu. Balok tutup atas
dinding juga melengkung meskipun tidak
semelengkung balok tumpuan.
Lengkungannya mengikuti lengkung sisi
bawah bidang atap. Kedua ujung perabung
diberi hiasan yang disebut sulo bayung.
Sedangkan sayok lalangan merupakan
ornamen pada keempat sudut cucuran atap.
Bentuk hiasan beragam, ada yang
menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji
dan sebagainya.
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk
seperti perahu merupakan ciri khas
masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap
lentik (Lontiok) merupakan ciri khas
arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi
arsitektur terjadi karena daerah Kampar
merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat,
dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar
di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima
Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar,
Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh
karena Kampar merupakan bagian dari alur
mobilitas masyarakat, maka proses
akulturasi merupakan hal yang sangat
mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi
tersebut nampak dari keunikan Rumah
Lancang yang sedikit banyak berbeda
dengan arsitektur bangunan di daerah Riau
Daratan dan Riau Kepulauan.

CANDI MUARA TAKUS

Candi Muara Takus
Terletak di desa Muara Takus, Kecamatan
XIII Koto Kampar atau jaraknya kurang lebih
135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Jarak
antara kompleks candi ini dengan pusat
desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan
tak jauh dari pinggir sungai Kampar Kanan.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok
berukuran 74 x 74 meter, diluar arealnya
terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x
1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini
sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di
dalam kompleks ini terdapat pula bangunan
candi Tua, candi Bungsu dan Mahligai Stupa
serta Palangka. Bahan bangunan candi
terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu
bata. Menurut sumber tempatan, batu bata
untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai,
sebuah desa yang terletak di sebelah hilir
kompleks candi. Bekas galian tanah untuk
batu bata itu sampai saat ini dianggap
sebagai tempat yang sangat dihormati
penduduk. Untuk membawa batu bata ke
tempat candi, dilakukan secara beranting
dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun
belum pasti kebenarannya memberikan
gambaran bahwa pembangunan candi itu
secara bergotong royong dan dilakukan
oleh orang ramai.Selain dari candi Tua, candi
Bungsu,Mahligai Stupa dan Palangka, di
dalam kompleks candi ini ditemukan pula
gundukan yang diperkirakan sebagai
tempat pembakaran tulang manusia. Diluar
kompleks ini terdapat pula bangunan-
bangunan (bekas) yang terbuat dari batu
bata, yang belum dapat dipastikan jenis
bangunannya. Kompleks candi Muara Takus,
satu-satunya peninggalan sejarah yang
berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat
budhistis ini merupakan bukti pernahnya
agama Budha berkembang di kawasan ini
beberapa abad yang silam. Kendatipun
demikian, para pakar purbakala belum
dapat menentukan secara pasti kapan candi
ini didirikan. Ada yang mengatakan abad
kesebelas, ada yang mengatakan abad
keempat, abad ketujuh, abad kesembilan
dan sebagainya. Tapi jelas kompleks candi
ini merupakan peninggalan sejarah masa
silam.

ASAL MULA OCU

Pernah dengar kata Ocu? Mungkin bagi
anda yang berasal dari Provinsi Riau
kata ini sudah akrab ditelinga anda. Atau
bagi anda yang berasal dari provinsi-
provinsi di pulau Sumatera, khususnya
di Sumatera bagian Tengah, seperti
Sumatera Barat, dan tetangga Riau.
Ocu adalah salah satu suku yang tidak
terlalu besar di Riau salah satu suku dari
Melayu. Orang-orang dari suku ini
berasal dari Kabupaten Kampar Provinsi
Riau. Memang hingga saat ini banyak
kontroversi tentang asal-usul dari suku
ini. Seperti, ada yang mengatakan
orang-orang Ocu berasal dari Sumatera
Barat, karena memang Kabupaten
Kampar sendiri berbatasan langsung
dengan Provinsi Sumatera Barat.
Pendapat pertama ini memang punya
alasan sendiri karena budaya, adat
istiadat, bahasa, struktur pemerintahan,
hingga gaya bangunan agak memiliki
kemiripan dengan budaya Sumatera
Barat. Selain itu dalam sejarah daerah ini
juga merupakan wilayah kerajaan
Pagaruyung.
Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada
satu orang anak keturunan Ocu yang
mau disebut sebagai orang Minang.
Entah apa sebabnya, kemungkinan juga
karena beberapa sifat antara Orang Ocu
dengan Minang agak berbeda ditambah
lagi dipengaruhi oleh faktor masa lalu
dan sejarah.
Selain ada yang mengatakan dari
Sumatera Barat, juga ada yang
menyebutkan orang Ocu asli orang
Melayu Daratan. Hal ini disebabkan di
daerah Riau sendiri sifat dan
karakteristik yang dimiliki oleh wilayah
Kampar juga persis seperti adat dan
kebudayaan di beberapa Kabupaten di
Riau seperti Kabupaten Kuantan
Singingi.
Ada juga yang mengatakan Kampar atau
negeri Ocu merupakan wilayah atau
kerajaan yang berdiri sendiri, karena
memiliki kerajaan tersendiri. Apapun
pendapat tersebut mesti dipastikan
kebenarannya.
Kembali kepada Ocu. Selain sebuah suku,
kata Ocu juga bisa disebut sebagai
sebuah bahasa, yaitu bahasa Ocu–
percampuran bahasa Melayu dengan
bahasa Minang, dan mirip seperti
bahasa Kuantan. Memang dalam kosa
kata bahasa Ocu banyak yang sangat
mirip dengan bahasa Melayu.
Selain bahasa, Ocu juga bisa digunakan
untuk sebutan sebuah wilayah, dan
sebutan bagi saudara atau anak yang ke
empat hingga selanjutnya. Dalam adat
Kampar, anak pertama oleh saudara-
saudaranya dipanggil dengan sebutan
Uwo (berasal dari kata Tuo, Tua, yang
paling tua).
Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya
dengan kata Ongah, yang berasal dari
kata Tengah, artinya anak yang paling
tengah, atau anak ke dua. Sedangkan
anak yang ke tiga dipanggil oleh adik-
adiknya dengan nama Udo, atau anak
yang paling Mudo atau yang paling
Muda.
Untuk anak yang ke empat baik laki-laki
maupun perempuan, juga dipanggil
dengan Ocu, yang kemungkinan besar
juga berasal dari kata Ongsu, yang
dalam bahasa Indonesianya berarti
Bungsu atau anak yang bungsu
(terakhir). Anak ke lima dan seterusnya
juga berhak untuk disapa dengan Ocu.
Tidak hanya dalam struktur
kekeluargaan saja kata Ocu ini
digunakan, tapi juga digunakan bagi
anak-anak yang lebih muda kepada
teman, kerabat dan sanak keluarga.
Seperti anak muda kepada yang sedikit
lebih tua dari pada dirinya.
Kata ini juga dipakai sebagai panggilan
kehormatan dan kebanggaan (bukan
panggilan kebesaran seperti gelar adat)
bagi orang Kampar.
Jadi Ocu adalah sebuah wilayah, suku,
bahasa, adat, sebutan atau nama
panggilan, dan panggilan kebanggaan
bagi orang-orang di Kampar.***